Banyak perusahaan di Indonesia menggunakan program magang sebagai alasan untuk mempekerjakan pencari kerja dengan beban kerja maksimal namun bayaran minimal. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah program magang benar-benar untuk melatih masyarakat atau hanya sebagai bentuk perbudakan modern dengan beban kerja dan bayaran yang rendah.
Belum lagi, persoalan outsourching yang enggak selesai-selesai. Transaksi untuk perpanjangan kontrak tidak lagi menggunakan uang, tetapi harus staycation bersama atasan. Setidaknya itulah salah satu persoalan tenaga kerja kontrak yang menguap ke permukaan baru-baru ini.
Ternyata, beberapa waktu lalu hingga saat ini persoalan karyawan magang. Ya magang, jam kerja seharusnya sedikit lalu dibayar sesuai jam kerja. Lowongan magang sedang menjadi primadona perusahaan. Apalagi semenjak kemendikbudristek melakukan integrasi dunia pendidikan dan dunia kerja dengan produknya magang merdeka.
Bagaimana Regulasi Magang?
Sebetulnya tenaga kerja magang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemagangan atau biasa disebut magang sebetulnya bagian dari sistem pelatihan tenaga kerja yang diselenggarakan secara terpadu oleh lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah instruktur ataupun pekerja yang lebih berpengalaman.
Teknis dan perjanjian magang sebetulnya juga sudah diatur melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri yang sudah banyak diminati perusahaan.
Dalam Permendagri tersebut, sebetulnya Lulusan SMA atau bahkan SMP yang berusia minimal 17 tahun sudah boleh menjadi pekerja magang, lalu dipastikan harus sehat rohani dan jasmani serta lulus dalam seleksi pemagangan.
Sebelum peserta magang memulai kegiatannya, perlu ada perjanjian pemagangan tertulis yang berisi hak dan kewajiban peserta magang, hak dan kewajiban penyelenggara magang, program magang, jangka waktu hingga besaran uang saku.
Hak peserta magang juga perlu diperhatikan seperti memperoleh bimbingan dari instruktur atau pembimbing, memperoleh hak sesuai perjanjian pemagangan, memperoleh fasilitas keselamatan dan kesehatan, memperoleh uang saku, diikutsertakan jaminan sosial serta mendapat sertifikat atau surat keterangan telah mengikuti magang.
Realitas Anak Magang?
Setelah kita lihat regulasi, tentu pekerjaan magang atau program magang sangat diperhatikan oleh pembuat regulasi dalam hal ini kementerian ketenagakerjaan. Karena tujuan magang adalah proses pelatihan bagi para pencari kerja.
Namun, ternyata, keluhan anak-anak lulusan baru membuktikan bahwa magang begitu menyeramkan. Tidak seperti apa yang dibayangkan, magang malah menjadi tempat “perbudakan” diperusahaan.
Magang, Salah Satu Alasan Langkanya Lowongan Kerja?
Bagi lulusan baru ada juga yang mengalami pengalaman buruk magang. Salah satunya tidak dibayar ketika lembur dan hampir setiap hari peserta magang pulang jam 9 malam setelah bekerja dari pukul 9 pagi.
Lagi-lagi, justru program magang banyak dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mempekerjakan pencari kerja dengan beban maksimal namun bayaran minimal. Ironis, namun ini banyak terjadi di Indonesia.
Alasan perusahaan membuka program magang adalah untuk masa percobaan pencari kerja. Jadi sebelum menjadi pekerja tetap atau kontrak harus melalui masa magang setelah tiga bulan lalu turunlah offering later yang ditunggu-tunggu.
Namun ternyata, banyak yang Magang lebih dari tiga bulan tanpa adanya kejelasan. Memang, maksimal durasi magang adalah satu tahun, namun jika bebannya sama dengan pekerja kontrak itu sama saja dengan perbudakan kekinian.
Alih-alih menggunakan bahasa magang untuk melatih masyarakat, malah membuat mereka bekerja seperti pekerja dengan bayaran anak magang. Sehingga saat ini hampir semua perusahaan menawarkan program magang.
Jika kita lihat di berbagai situ pencari kerja, lebih banyak lowongan kerja magang. Bahkan lowongan pekerja kontrak pun sudah sedikit apalagi karyawan tetap. Karena mau tidak mau, banyak pencari kerja yang harus menjalani perbudakan di era kekinian itu dibayar rendah dengan kerja yang banyak.
Namun, perlu diingat bahwa “Pemagangan seharusnya tidak dimanfaatkan oleh perusahaan sebagai sumber tenaga kerja murah. Perusahaan seharusnya memberikan kompensasi yang layak bagi pemagang untuk waktu dan usaha yang mereka berikan. Selain itu, perusahaan juga harus memberikan pelatihan dan pengawasan yang memadai untuk memastikan pemagang mendapatkan pengalaman kerja yang positif dan bermanfaat”, ujar hakim.
Seharusnya pemerintah bisa turun tangan dalam hal ini,
Lalu pertanyaan yang belum terjawab?
Mengapa Program Magang begitu diminati perusahaan?
Apakah benar untuk melatih masyarakat atau perbudakan dengan kerja melimpah bayaran murah?
Tuliskan dikolom komentar anda berkaitan masalah Pemagangan.