media.fsps.or.id,- Kuasa hukum Para Pemohon Perkara No. 5/PUU-XXI/2023 Viktor Santoso Tandiasa menilai pernyataan pemerintah terkait legal standing itu tidak tepat. Victor yang mewakili Hasrul Buamona dkk ini menilai pemerintah tak berwenang menilai legal standing dari para pemohon. Itu, kata dia, merupakan wewenang hakim konstitusi.
“Jadi bagi saya sebenarnya pola itu adalah pola yang keliru ditempatkan dalam konteks pengujian Undang-Undang,” kata Victor saat ditemui selepas sidang di MK, Kamis (9/3/2023).
Selain bukan kewenangan pemerintah, Victor menyebut bahwa argumentasi mengenai kedudukan hukum itu tidak perlu disampaikan karena pemerintah dalam posisi bukan sebagai tergugat, melainkan hanya sebagai pemberi keterangan. “Perlu dipahami bahwa pemberi keterangan itu berbeda dengan tergugat,” kata dia. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa sidang di Mahkamah Konstitusi punya mekanisme berbeda dengan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Di PTUN, lanjut dia, pihak tergugat dapat menilai kedudukan hukum dari penggugatnya. Sedangkan beracara di Mahkamah Konstitusi, Pihak Termohon hanya perlu menjelaskan alasan dari ketentuan yang di uji pada sidang perkara. “Tapi di MK ini adalah Pemerintah dalam konteks pengujian Undang-Undang sebagai pemberi keterangan. harusnya pemberi keterangan hanya cukup memberikan keterangan, kenapa Perppu itu dikeluarkan, apa alasannya, tanpa menilai legal standing pemohon, dan itu adalah tugasnya hakim sebenarnya,” tuturnya.
Diberitakan sebelumnya, Presiden RI yang dikuasakan kepada Menko Polhukam Mahfud MD, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laolly, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, yang diwakili oleh Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi menyampaikan argumentasi dalam sidang tersebut.
Elen menyebut bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing. Sehingga menurut dia, Permohonan Uji Formiil ini tidak dapat dilanjutkan. Dengan demikian, Elen meminta Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji formil para pemohon ini.
“Menurut pemerintah, para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo. Sehingga sudah sepatutnya jika yang mulia majelis hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” kata Elen.
Ia merinci, pemerintah mempertanyakan kepentingan para pemohon untuk mengajukan Uji Formil Perppu Cipta Kerja ini. “Apakah sudah tepat tepat sebagai pihak yang mengnaggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya ketentuan yang dimohonkan pengujiannya,” tuturnya.
Tak hanya itu, ia juga mempertanyakan apakah ada kerugian konstitusional dari kehadiran Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta kerja ini.
“Apakah terdapat kerugian konstitusional para pemohon yang dimaksud bersifat spesifik khsusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi,” kata Elen.
Lebih jauh pemerintah justru tak melihat adanya kerugian yang dialami oleh para pemohon akibat Perppu Cipta Kerja ini.
Sebab, lanjut Elen, para pemohon tidak terhalang-halangi dalam melaksanakan aktivitas maupun kegiatannya yang diakibatkan berlakunya Perppu Cipta Kerja.
Tak hanya itu, ia menilai dengan berlakunya Perppu Cipta Kerja para pemohon tidak kehilangan hak-hak konstitusional, sebagaimana dijamin oleh ketentuan Pasal 28C ayat 2, Pasal 28D ayat 1 dan ayat 2, Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.
Di sisi lain, pemerintah menilai dalil kerugian konstitusional para pemohon akibat berlakunya Perppu Cipta Kerja ini hanya bersifat asumsi.
“Tidak bersifat spesifik khusus dan aktual serta tidak sesuai dengan syarat-syarat adanya kerugian konstitusional tersebut,” tuturnya.
Elen pun menyebut bahwa penetapan Perppu Cipta Kerja telah sesuai dan memenuhi syarat sebagaimana tertuang pada Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 Juncto Pasal 1 angka 4, Pasal 7 ayat 1 huruf c, Pasal 11 dan Pasal 52 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP).