Jakarta – Aturan mengenai pajak penghasilan yang mencakup natura dan/atau kenikmatan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Heriyansyah, seorang buruh pabrik yang berdomisili di Kabupaten Bekasi tercatat sebagai Pemohon. Sidang perdana Perkara Nomor 38/PUU-XXI/2023 tersebut digelar pada Rabu (3/5/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Heriyansyah menguji norma yang berbunyi Pasal 4 ayat (1a) UU 7/2021 (1) menyatakan, “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Manahan MP. Sitompul, Hendrawan selaku kuasa Pemohon menjelaskan bahwa permohonan ini mengenai pengujian Pasal 4 ayat (1a) UU HPP. Ia mengatakan terhadap pasal tersebut berkaitan dengan frasa natura/kenikmatan mengandung arti pajak kenikmatan atas fasilitas Kesehatan. Norma pasal tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945 antara lain Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945.
Sementara dalam permohonannya, Pemohon menyebutkan, telah menerima Surat Balasan Direktorat Jenderal Direktorat II atas Surat Permohonan yang telah disampaikannya atas Pajak Kenikmatan yang berpotensi menghabiskan penghasilan Pemohon. Pemohon kemudian menjelaskan bahwa disahkannya UU HPP mengakibatkan fasilitas kesehatan dan berobat pegawai oleh pemberi kerja yang semula dikecualikan dari objek pajak penghasilan (PPh), kini menjadi objek PPh. Hal tersebutlah yang diyakini Pemohon telah merugikannya. Atas dasar itu, MK diminta Pemohon menyatakan Pasal 4 ayat (1a) UU HPP khususnya frasa natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk fasilitas kesehatan merupakan kenikmatan yang bukan merupakan objek PPh.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul mengatakan Pemohon telah memenuhi struktur permohonan, namun pada substansi belum dielabolarasi sesuai dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). “Jadi tolong dicatat nanti dipedomani PMK Nomor 2 Tahun 2021 itu ya karena itu sudah ada perubahan dari PMK yang lama. Jadi disitu dapat dilihat Pasal 8 sampai Pasal 10 disitu nanti diuraikan bagaimana membuat permohonan itu baik urutan-urutan maupun substansinya di PMK 2/2021 disitu nanti ada identitasnya seperti ini sudah ya. Kalau nanti ada kuasa disebutkan,” ujar Manahan.
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta pemohon untuk menguraikan alasan permohonan (posita). “Nanti di positanya diuraikan bertentangan dengan. Jadi di positanya diuraikan bertentangan norma yang dimohonkan pengujian dipasal itu dimana, bagaimana pertentangannya itu. Sehingga kesimpulan atau petitum yang disebutkan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai rasa keadilan bagi seluruh pekerja yang menggunakan fasilitas Kesehatan yang diberikan pada pemberi kuasa. Kalau menguji sebuah norma lihat juga kaitannya bisa dijelaskan oleh pasal yang lain atau penjelasannya. Sehingga nanti tidak menjadi tidak jelas,” ungkap Wahiduddin saat memberikan nasihat.
Sedangkan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan Pemohon harus dapat menjelaskan hak apa yang diberikan oleh undang-undang yang diberikan kepada Pemohon. “Itu harus dijelaskan dimana letak anggapan kerugiannya harus dijelaskan nanti, ya harus ada kejelasan soal itu. Kemudian dijelaskan pula ada atau tidaknya sebab atau akibat anggapan kerugian saudara ini dengan norma yang diujikan, baik itu aktual ataukah setidak-tidaknya potensial. Ada uraian seperti itu,” terangnya.
Sebelum menutup persidangan Enny Nurbaningsih menjelaskan Pemohon diberi waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan diserahkan kepada Kepaniteraan MK paling lambat Selasa, 16 Mei 2023 pukul 14.00 WIB.