• 18 Januari 2025 21:27

Dinamika Partai Menyikapi Perppu No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta kerja

Https   Asset.kgnewsroom, Media Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa

Terkait dengan status hukum Perppu Ciptaker yang belum mendapatkan persetujuan dari DPR pada masa persidangan setelah perppu ditetapkan, Viktor Santoso Tandiasa, salah satu advokat, mengajukan permohonan fatwa kepada Mahkamah Agung pada 6 Maret lalu. Fatwa tersebut dibutuhkan karena ada kekosongan hukum mengenai hal tersebut. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) hanya mengatur pemberian persetujuan atau penolakan dari DPR.

”Dalam konteks ini ada kekosongan hukum dimana UU PPP tidak mengatur bagaimana jika DPR tidak memberikan persetujuan (terhadap Perppu) di masa sidang pertama. Yang diatur, kan, hanya ketika DPR menyetujui, lalu bagaimana mekanismenya menjadi UU atau ketika tidak menyetujui lalu bagaimana muncul UU Penolakan Penetapan Perppu dan pencabutan Perppu. Masalahnya, ketika pada sidang pertama tidak disetujui atau ditolak, status hukumnya bagaimana? Ada kekosongan hukum,” ujar Viktor.

Pendapat MA, tambahnya, sangat penting untuk menghentikan berbagai kontroversi mengenai status hukum perppu diantara para ahli hukum. MA dinilai tepat jika mengeluarkan fatwa karena merupakan lembaga yang memiliki otoritas untuk memberikan pertimbangan terkait kondisi hukum tertentu, demi kepastian hukum. ”Kalau terjadi kondisi hukum seperti ini, menurut MA apa jawabannya. Apakah menurut MA gugur atau apa, fatwa ini nanti yang akan saya sampaikan ke DPR,” kata Viktor.

Sementara itu, MK hingga saat ini masih menangani pengujian formil Perppu 2/2022. Ada tiga perkara yang disidangkan. Pada sidang terakhir pada 9 Maret lalu, MK mendengarkan keterangan dari pemerintah mengenai alasan-alasan penerbitan perppu. MK akan menggelar sidang lanjutan pada 27 Maret mendatang untuk mendengarkan keterangan dari DPR.

Rapat Badan Musyawarah yang dihadiri pimpinan DPR, fraksi-fraksi partai politik di DPR, dan alat kelengkapan Dewan, Selasa (14/3/2023), sepakat mengagendakan persetujuan pengesahan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau Perppu Cipta Kerja dalam rapat paripurna terdekat. Proses menuju pengesahan perppu ini diwarnai protes dari sejumlah elemen masyarakat sipil.

Sebelum kesepakatan dalam Rapat Badan Musyawarah (Bamus) itu diambil, DPR juga menyelenggarakan Rapat Paripurna Pembukaan Masa Persidangan IV Tahun 2022-2023. Rapat tersebut dipimpin Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Lodewijk F Paulus, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, dan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Nasdem Rachmat Gobel. Dari unsur pimpinan DPR, hanya Ketua DPR Puan Maharani yang tak menghadiri rapat tersebut. Adapun rapat dilaksanakan untuk agenda tunggal, yakni pidato Ketua DPR. Pembacaan pidato pun diwakilkan oleh Lodewijk F Paulus.

Lodewijk F Paulus, saat membacakan pidato Puan, mengungkapkan, dalam masa persidangan ini, DPR akan melakukan pembahasan terhadap penetapan dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) menjadi undang-undang (UU). Kedua perppu dimaksud adapah Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) dan Perppu Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

”Dalam masa persidangan ini DPR RI juga akan melakukan pembahasan terhadap Penetapan Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja dan Penetapan Perppu No 1/2022 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menjadi UU, guna memberikan kepastian hukum, terutama untuk penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2024 di sejumlah daerah pemekaran di Papua,” tutur Lodewijk.

Adapun pada 15 Februari 2023, RUU tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja telah disepakati dalam pembicaraan tingkat satu di Badan Legislasi DPR. Pengambilan keputusan tingkat satu terhadap RUU itu diwarnai penolakan dari dua fraksi DPR dan kelompok Dewan Perwakilan Daerah. Dua fraksi DPR yang menolak adalah Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.

Seusai rapat paripurna, Sufmi Dasco Ahmad membenarkan, DPR akan membahas penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU pada masa sidang ini. Pada hari yang sama, pihaknya juga akan menyelenggarakan rapat pimpinan (rapim) dan rapat Bamus terkait hal tersebut.

”Siang ini nanti ada rapim dan bamus. Kita akan mengagendakan baik RUU PPRT (Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) maupun Perppu Ciptaker, kita bahas di rapim dan bamus untuk selanjutnya kita bawa ke tahap selanjutnya sesuai mekanisme di DPR,” ujar Dasco.

Rapat Bamus yang diikuti pimpinan DPR, fraksi-fraksi partai politik di DPR, dan alat kelengkapan dewan (AKD) itu berlangsung beberapa jam setelahnya. Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) di DPR Saleh Partaonan Daulay yang mengikuti rapat tersebut mengungkapkan bahwa DPR dengan berbagai dinamika akhirnya sepakat untuk menyetujui Perppu Ciptaker. Persetujuan dimaksud akan disampaikan dalam rapat paripurna terdekat. Namun, ia belum merinci kapan rapat paripurna terdekat akan dilaksanakan.

”Di Bamus tadi, DPR menerima, akan segera diparipurnakan dalam paripurna terdekat,” kata Saleh.

Ia menambahkan, dalam rapat Bamus, muncul sejumlah catatan dan harapan terkait Perppu Ciptaker. Kendati demikian, posisi DPR tidak bisa mengubah substansi perppu. ”DPR hanya bisa menyetujui atau menolak,” ujar Saleh.

Saat pembahasan ihwal persetujuan Perppu Ciptaker dibahas di DPR, penolakan dari publik juga terus terjadi. Demonstrasi menolak Perppu Ciptaker yang digelar aliansi buruh dan mahasiswa berlangsung sejak Selasa siang di depan Gedung DPR/MPR. Hingga Selasa malam, massa belum meninggalkan lokasi.

Adapun Perppu Ciptaker dinilai menjadi polemik lantaran pemerintah lebih memilih menerbitkan perppu ketimbang memperbaiki UU Ciptaker sesuai amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Putusan yang diucapkan pada November 2021 itu menyatakan ada cacat formil dalam pembentukan UU Ciptaker sehingga UU itu dinyatakan konstitusional bersyarat.

Pemerintah dan DPR diperintahkan memperbaiki UU tersebut dalam waktu dua tahun dengan memperhatikan partisipasi publik yang bermakna dalam perbaikannya.

Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, alih-alih menyetujui Perppu Ciptaker, DPR semestinya menyatakan bahwa perppu ini dicabut dan tidak lagi berlaku. Sebab, jika merujuk Pasal 52 Ayat (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, perppu mendapatkan Persetujuan DPR dalam rapat paripurna. Konsekuensinya, kata Feri, jika persetujuan tak diberikan dalam rapat paripurna tersebut, perppu harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

”Jangan sampai DPR dan pemerintah mengabaikan UU yang dibuat sendiri karena bukan tidak mungkin itu menjadi pelanggaran hukum yang berbahaya bagi Presiden secara politik,” kata Feri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *