• 18 Januari 2025 21:43

BURUH DARI WAKTU KEWAKTU

BySingaperbangsaTv FSPS

Mar 10, 2023
BK PKI 1.jpg, Media Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa

media.fsps.or.id,- Pada zaman penjajahan (kolonial), khususnya yang dilakukan oleh Belanda, keberadaan golongan orang dengan sebutan buruh tidak begitu menonjol. Pada masa itu, adanya sistem feodalisme mengakibatkan munculnya perbedaan kelas yang pada akhirnya terdapat golongan orang kelas bawah, seperti budak atau kuli yang bekerja pada orang-orang yang memiliki kelas lebih tinggi atau para bangsawan. Berdasarkan fakta sejarah, pada waktu sebelum masa penjajahan datang dan selama masa penjajahan itu sendiri, di Indonesia telah terdapat berbagai macam kerajaan yang tersebar di wilayah nusantara. Tiap daerah kerajaan memiliki sejarahnya sendiri-sendiri dan sudah barang tentu juga memiliki sistem politik dan susunan masyarakat yang berbeda.

Namun, di antara perbedaan tersebut ternyata ada suatu ciri khusus yang tidak jauh berbeda di antara kerajaan satu dan kerajaan lainnya. Ciri khusus tersebut adalah adanya kharisma dan otoritas raja terhadap rakyatnya, serta rakyat yang mengabdi kepada raja dan raja yang memberikan perlindungan kepada rakyatnya. Para raja atau bangsawan tersebut pada umumnya memiliki dominasi terhadap tanah dalam jumlah yang cukup luas.

Pada saat itu, tanah dikuasai secara timpang dan tanah menjadi basis bagi penguasaan politik. Sebagai akibatnya, dari penguasaan tanah yang merupakan sumber daya produksi tersebut, bagi mereka yang tidak memiliki tanah akan mengalami tekanan dan eksploitasi yang merendahkan martabat kemanusiaannya melalui pekerjaan sebagai penggarap tanah atau menjadi budak dari tuan tanah. Dari sinilah kelas buruh tani itu muncul karena mereka harus bekerja untuk mendapatkan upah dari tuan mereka demi mempertahankan kehidupan mereka dan keluarganya. Dengan bekerja pada orang lain, berarti buruh itu memberikan dirinya diperbudak oleh orang lain atau orang yang memiliki sumber daya.

Mengenai kondisi buruh itu, Jan Breman mengemukakan bahwa akibatnya mereka sering kali dipandang rendah, tidak berharkat dibanding orang merdeka. Meskipun mereka mengambil bagian dalam proses produksi dalam suatu industri, namun tetap saja cara mereka dipekerjakan tak ubah layaknya orang yang tidak memiliki harga diri (Breman, 1977).

Dalam perjalanan sejarah, setelah bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan di tahun 1945 sampai pada masa orde lama, kondisi dunia kerja (kaum buruh) tidak menunjukkan ke arah yang lebih baik dibanding pada masa sebelum kemerdekaan (kolonial). Buruh yang bekerja di sektor pertanian, sektor manufaktur skala kecil, dan menengah, seperti industri rokok dan tekstil memiliki standar upah yang sangat kecil disertai kondisi kerja yang sangat buruk. Demikian juga di era orde baru dan di zaman reformasi sekali pun, kondisi buruh itu sangat memprihatinkan, yaitu standar upah yang jauh memenuhi kebutuhan (sangat minim), kondisi kerja yang buruk, serta jaminan keamanan kerja yang tidak menentu.

Dalam hal ini berarti hak normatif buruh atau pekerja yang mestinya mereka terima secara wajar sebagai hak dasar mereka, masih banyak yang diabaikan oleh para pengusaha. Tidak mengherankan apabila banyak tuntutan yang diajukan oleh para buruh ini agar para pengusaha memenuhi hak mendasar mereka dalam bentuk demo, seperti disajikan di awal artikel ini.

Sebagai gambaran mengenai minimnya penghasilan bagi buruh itu, Kompas edisi Kamis, 4 November 2004 pada halaman 13 menulis dengan judul sangat besar :
“Disesalkan, UMP DKI di bawah KHM”. Kalau kita baca isi berita tersebut yang dimaksud dengan UMP adalah Upah Minimum Provinsi dan DKI adalah kepanjangan dari Daerah Khusus Ibukota. KHM adalah kepanjangan dari Kebutuhan Hidup Minimum. Dengan demikian, isi judul berita tersebut adalah bahwa penetapan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta mengenai UMP tahun 2005 sebesar Rp711.000,00 per bulan bagi tenaga kerja/buruh di Propinsi DKI Jakarta, masih jauh berbeda dengan KHM yang besarnya Rp873.945,00 per bulan. Walaupun penetapan UMP DKI Jakarta tahun 2005 tersebut sudah lebih tinggi dibanding UMP DKI Jakarta tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp671.550,45 per bulan, tetap saja banyak pihak yang mengutarakan penyesalannya. Pihak yang menyesalkan penetapan UMP DKI Jakarta tahun 2005 tersebut, antara lain Maringan Pangaribuan, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dan Ilal Ferhard (Fraksi Partai Demokrat). Sebagaimana diatur oleh undang-undang maka pada setiap akhir tahun, masing-masing Kepala Daerah Propinsi di seluruh Indonesia menetapkan upah minimum propinsi bagi tenaga kerja/buruh yang berlaku di wilayah propinsi yang bersangkutan.

Berdasarkan pengalaman selama ini, penetapan UMP di setiap propinsi selalu mendapat tentangan, terutama dari para pekerja/buruh. Dalam hal ini, pihak pekerja/buruh selalu berada pada sisi yang lemah karena kenyataannya UMP yang mereka terima masih jauh berada di bawah KHM dan dalam praktiknya banyak pengusaha yang membayarkan upah pekerja/buruh mereka di bawah UMP dengan alasan perusahaan tidak mampu membayar sesuai UMP.

Sebenarnya, untuk melindungi nasib buruh atau pekerja ini, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat telah membuat perangkat berupa undang-undang yang telah ditindaklanjuti dengan berbagai peraturan pelaksanaannya, seperti keputusan menteri yang membawahi bidang ketenagakerjaan. Peraturan perundangan tersebut, misalnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta; dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 150/Men/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Ganti Kerugian, dan masih banyak peraturan lagi. Bahkan, peraturan perundangan terakhir yang dikeluarkan Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat adalah dibuatnya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Hanya masalahnya, menurut kacamata buruh/pekerja, berbagai peraturan tersebut masih belum berpihak kepada buruh atau pekerja. Seperti, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, kelahirannya yang banyak mendapat tentangan dari kaum buruh/pekerja dan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat sampai saat ini pun masih dianggap belum berpihak kepada tenaga kerja/buruh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *